Keindahan yang tak terkira, terurai dalam kata-kata yang bergelora, ada kerinduan dan cengkraman ketidak berdayaan, kebahagiaan dalam derai air mata, bagi mereka yang tenggelam dalam kobaran api ini, terbakar habis menjadi debu halus tak berdaya. Setelahnya, itu semua dapat menjadi tirai bagai kelambu tipis yang masih terpisah, menyisakan jarak pada cermin tujuan.
Ini hanyalah sekedar kata2, tak perlu dirisaukan, bila memang perlu utk direnungkan, apabila Mahabbah bagai istana yang diagungkan, maka itu adalah keadaan, bersifat bathil dan ciptaan yang dianugerahkan, jangan berhenti di istana keagungan, teruslah berjalan, sibaklah kelambu dalam peraduan didepan, cermin ditemukan, adalah jiwa yang terbebaskan, dalam penjara bangkai yang membusuk terpantul keseluruhan.
Kebingungan adalah kelakar, meminta-minta menjadi sandaran, "hendak kemana kau majnun ?", "layla" jawabnya. Akal pikiran & semua yang diketahui spt menjadi tak berarti apa2, jasad demam melemah, jiwa merana & meronta bagai ikan yang kehabisan air. "Hey majnun !, penawarmu disini dgn pemutusan segala saraf tumpuanmu itu, mana yang dipilih akan berujung pd kematian namun berbeda, antara kekonyolan atau kemerdekaan.."
Seperti anak kecil, karena dunia baginya adalah mainan dan permainan, baginya dunia yang telah berpindah kedalam genggaman, penjara kebosanan adalah kenyataan, dalam penantian kepulangan, Maha Raja memberikan mainan dan permainan yang berganti-gantian.
Cinta dan mati berawal keterpisahan, cinta berkorban dalam lautan api kerinduan, terbakar berkali-kali hingga debu arang kehitaman, padam ungkapan kematian, tiada lagi cinta yang terbahasakan, adalah mati terhidupkan.
Kata-kata hikmah apa lagi yang ingin disampaikan, ketika kata-katapun terangkum sudah tanpa gemetaran, air mengalir oase mata berakhiran, yang terlihat dan tampak adalah pengecualian, yang keluar dan masuk merupakan persinggahan, itu semua adalah kenisbian, kepalsuan dan kebenaran bercampuran dalam adukkan yang tanpa pengecualian, hijab kepada Mu yaa Rabbi begitu banyak berhamburan..
Ketika jalan pulang telah tertunjukkan, akan banyak pengorbanan dan penderitaan, begitu banyak pula binatang buas berkeliaran, juga taman indah beragam macam berisikan kemegahan dan keterpukauan. Namun, hari tetaplah menjadi hari, berganti-ganti, lantunan biduan dan penyair silih berganti, oooh diri.. hendak kemana lagi ? selain mengingati yang abadi tanpa kenikmatan surgawi..
Apapun bentuknya.. tiada satu kekuatanpun didunia ini yang mampu mencabut sampai keakarnya. Hanya dari Nya segalanya datang, begitu pula dengan kehendak Nya, tiada meminta, kehendak Nya yang berbicara. Berkehendak dan meminta atas kehendak, tiada mendapatkan apa-apa dari Nya kecuali mendapatkan mati dalam keadaan konyol terlara-lara..
Cari kesana dan kesini, lelah begini siksaan dalam jiwa menari, akal tersumpal bawaan kehendak diri, hati meringis meminta-minta yang tak pasti, cari kesana dan kesini, tidak ada bahasa belahan jiwa, yang mana sandaran terpilah dua, Yaa Rabbi.. sungguh bodoh teramat bodoh, Engkau berada disini tanpa waktu dan ruang bersisi, tetapi diri berlarian mencari kesana dan kesini..
Harus terbakar habis hingga kepadaman, tidak ada kepadaman, sebelum keterbakaran yang berulang-ulang, hingga debu halus berterbangan, tak terlihat lagi mata telanjang, hingga kehidupan atas kematian terjelang, tiada lagi peduli pesona menerjang, dalam hitam berkubang duka atas keindahan keberpalingan..
aku menjadi gelap, tenggelam dalam hitam pekat, kulihat penuh manusia sesak pengap, dalam kubangan keinginan yang bersekat-sekat.. Yaa Rabb, izikan aku bersyukur dengan kesyukuranMu kepadaku, izinkan aku memohon dengan permohonanMu kepadaku, izinkan aku berkeinginan dengan keinginanMu kepadaku..
Keinginan ini berlapis hingga yang paling tipis, terlihat menerawang pandang menggoda, pengharapan perjumpaan dengan dambaan semakin miris, mencari arti pengharapan yang tergoda, seperti pengetahuan tak kuasa bicara.. Lihatlah Musa yang mengharapkan berjumpa, tak bersuara diam seribu bahasa, melihatpun tiada.
Ketika syukur tidak lagi terucap, anugerah dan makna telah larut tanpa suara, wajah yang bersujud terlihat meratap, kehambaan menjulang diatas semua anggur cinta, tiada berharap perjumpaan terhadiahkan mata saling menatap..
aku cemburu kepada jasadku, aku cemburu kepada jiwaku, aku cemburu kepada hatiku, aku cemburu kepada akalku, aku cemburu kepada apa yang meliputi diriku, aku cemburu.. karena semua itu mendapatkan anugerah dariNya, sementara aku hanya mendapatkan ketidak tahuan dan di bisakan untuk suatu permohonan..
Yaa Rabb.. Yaa Malik.. lihatlah itu siapapun dimanapun mereka berada, lihatlah sekilas aku yang tidak berada dimana-mana..
aku sudah tidak disini tidak juga disana, segala apa yang tertuang hanyalah ungkapan semata, dari apa yang terlihat dan terbaca, kemungkinan membawa pesan bermakna, atau juga sekedar perlintasan tanpa apa-apa. setiap waktu bergerak, setiap itu pula keadaan berganti-ganti semarak, begitulah bahasa perumpaan, coba saja t...anyakan, bagaimana mengutarakan sesuatu yang melampaui segala kemabukkan..
Sebuah dialog, "apakah yang kau lihat ?", "kamu", "tidakkah kau melihat keselilingmu ?", "tidak, aku tidak melihat apa-apa selain kamu", "bagaimana dengan dirimu sendiri, apakah itu juga tidak kau lihat ?","tidak.. aku tidak melihat diriku dari kemarin, yang kulihat hanyalah kebodohan dan harapan kepadamu"..
Berseberangan, keterpisahan, kejenuhan, kepiluan.. ah.. kulihat Sultan Mekkah dan Madinah dapat tertawa kegembiraan, karena jasad mulianya berjalan diatas tanah kefanaan, tetapi tidak dengan jiwanya yang hanya tahu kesyukuran..
Setelah mengenalmu dambaanku, umurku menjadi tak lebih dari hitungan jari, baru saja kemarin kepadamu aku berlari, tetapi engkau wahai dambaanku, ada dalam setiap kemarin, kini dan esok hari..
Aah.. kopi hangat dinginnya pagi, datang bersama wajah sang isteri, akalku menyambut dengan senyuman, terucapkan terima kasih sebagai kesyukuran, hari ini begini, engkau wahai isteriku yang hingga kini, janganlah pandangi aku dengan kopi hangatmu, tetapi pandangi saja Sang Pencipta uap hangat kopi buatanmu itu..
Dijalan ini, ada hidup kemudian mati, lalu mati kemudian hidup kembali, sungguh mengherankan dari apa yang teranugerahkan dari Nya, melewati totalitas akal yang juga dari Nya, tolong jelaskan saja, bagaimana hidup yang takut akan keterpisahan, bersamaan dengan itu mati untuk sebuah penyatuan..
Apalagi ??.. selain tangisan yang dapat terurai, hiburan hanyalah sementara berganti-gantian, beginilah yang harus diterima kehambaan, tanpa bisa menolak alih bertanya mengapa, lihatlah Sultan Mekkah dan Madinah bersahaja tak tampak lara, sesungguhnya menangis dikedalaman lautan tak terlukiskan, melampaui mengapa..