Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Ba'da Basmalah, Tahmid wa Solawat An Nabi saw.
Siapa yang tidak tahu atau setidaknya pernah mendengar sebutan "Bahlul". Aku sendiri yang lahir dan besar di tanah Betawi (Jakarta) daerah Tanah Abang, pasti sangat akrab dengan sebutan itu. Masa kecilku waktu itu sangat akrab sekali dengan kata atau sebutan tersebut. Seperti halnya kata atau sebutan "Majnun".
Biasanya orang-orang sering menggunakan sebutan tersebut pada saat bercanda antar sesama atau dipakai untuk memperolok kelakuan orang lain. Mereka biasanya mengucapkannya dengan begini,"Ente Bahlul !" atau "Ente Majnun !". Juga salah satunya seperti ini, "Ente emang Bahlul !, yang beginian aje kagak ngerti !". Ya, seperti itulah yang aku ketahui waktu itu.
Aku tidak pernah tahu dan mengerti dari mana asal muasal kata atau sebutan tersebut. Aku baru mengetahuinya setelah memasuki dunia tasawwuf (sufisme) dan tarikat. Menurut literatur yang ada, kata atau sebutan "Bahlul" bukanlah dari bahasa arab tetapi berasal dari bahasa persia. Yang arti harfiahnya adalah ”gila atau sakit jiwa”.
Kepopuleran kata atau sebutan tersebut bukanlah sebuah rekayasa atau fantasi belaka. Ternyata, tokoh dengan sebutan "Bahlul" memang benar adanya. Ia benama Wahab Bin Amr atau Wahab Ibn Amr, lahir di Kufah dan wafat di Basrah (Baghdad) pada tahun 812 M. Hampir separuh hidupnya menetap dan tinggal di Basrah (Baghdad), yang pada waktu itu dipimpin oleh dinasti Khalifah Abbasiyyah yang zalim.
Wahab bin Amr atau Bahlul, sebenarnya adalah seorang sufi yang saleh dan bijaksana. Ia juga hidup diantara para sufi-sufi besar dizaman nya seperti, Al Muhasibi ra (w. 857 M), juga Abul Qasim Junaid Al Baghdadi ra (w. 910 M).
Literatur mengenai dirinya sangat sedikit sekali, aku hanya mendapatkan beberapa saja. Layaknya serpihan-serpihan yang harus dikumpulkan dan disambung satu persatu. Salah satunya adalah bahwa pada masa Bahlul hidup, kekhalifahan dan para ulama keledai mereka telah banyak menghasut dan mengejar-ngejar para ulama-ulama yang memegang teguh prinsip syariat dan ketauhidan murni. Bahkan ada yang dibunuh dengan dipancung untuk tuduhan yang sangat tidak wajar. Tidak sedikit yang dipenjarakan dalam waktu yang lama, setelah itu dibuang atau diusir ke negara lain seperti ke Mesir, Iran atau Syria.
Adapun yang masih bertahan dan hidup, mereka berusaha sedapat mungkin untuk tidak melakukan konfrontasi langsung dengan Khalifah dan ulama-ulamanya. Mungkin ini mereka lakukan demi menjaga kelansungan estafet ajaran murni Rasulullah saw yaitu Tauhidullah. Terbukti hingga kini karya-karya mereka dapat kita temui dalam bentuk terjemahan atau yang dicetak ulang dalam bahasa arab serta memenuhi ruang-ruang khazanah dan wacana ke ilmuan Islam yang maha luas. Terutama dalam bidang Ilmu Tasawwuf, Sufisme dan Thariqah.
Begitu pula denga Wahab bin Amr atau Bahlul, ia pun mengalami masa-masa itu. Ia memilih menjalani kehidupan dengan cintanya yang amat besar kepada Allah Ta'ala. Hingga ia dianggap aneh, gila dan sakit jiwa. Anak-anak sering kali memperolok-olok dan mempermainkan dirinya. Tak jarang orang merasa tidak enak atau jijik berada didekatnya. Ia suka sekali berbicara sendiri, seolah-olah ada orang lain yang diajaknya bicara. Kadang pula ia menangis tak terkira, hingga orang menyangka ada sesuatu yang menimpa dirinya. Tak jarang ia juga suka tertawa terbahak-bahak hingga terpingkal-pingkal, kalau sudah seperti ini orang-orang akan mengusirnya dan menyuruhnya untuk diam.
Namun dibalik dari apa yang aneh dari tingkah lakunya itu, ia juga sangat dikenal dengan kalimat-kalimat syatahatnya (celoteh hikmah). Kadang orang-orang yang tadinya membenci dan tidak mau berdekatan dengan dirinya, menghilangkan atau menahan gengsi mereka untuk sekedar bertanya atau meminta nasihat kepadanya. Banyak pula yang bingung dan harus berpikir dengan keras atas nasihat yang diberikan oleh Bahlul. Seakan-akan Bahlul ingin memberi pelajaran kepada mereka, agar mereka tidak seenaknya mendapatkan sesuatu tanpa berpikir dan merenung.
Itu juga mungkin yang menyebabkan Khalifah dan para ulama serta para penasihatnya menjadi jengah untuk berkonfrontasi dengannya. Karena sudah terlalu sering mereka dibuat bungkam oleh jawaban-jawaban Bahlul yang sederhana namun penuh dengan sindiran halus kepada diri mereka sendiri. Hingga mereka tidak dapat berbuat banyak terhadap Bahlul, dan menganggapnya hanya sebagai orang yang aneh, gila dan sakit jiwa.
Itulah si Bahlul, Wahab bin Amr. Aku sangat tertarik kepada tokoh Bahlul, atau mungkin bisa dikatakan jatuh cinta kepadanya. Sikap dan perilakunya dianggap tidak beradab oleh orang-orang disekelilingnya namun dibalik itu semua ia adalah orang yang "Sami'na wa Ato'na". Orang yang taat dan patuh terhadap segala sesuatu yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada dirinya. Tidak pernah melawan atau protes, alih-alih mengeluh. Kesehariannya selalu diisi dengan kecintaan yang amat sangat kepada Kekasihnya yaitu Allah Ta'ala. Ia juga berikhtiar seperti layaknya orang-orang, namun ia juga tidak mengharapkan apapun dari ikhtiarnya itu. Totalitas kepasrahan yang hakiki atas dasar cinta yang demikian hebat menghujam dalam dirinya.
Sehingga aku dapatkan diri ini menceritakan sedemikian banyak dalam tulisan-tulisan kisah melalui (meminjam) tokoh Bahlul. Yang sebenarnya kisah-kisah tersebut adalah mengambil dari perjalanan ruhani diriku sendiri.
Mungkin ada yang tidak setuju atas apa yang dijalani Bahlul, itu adalah suatu kewajaran. Seperti juga Allah Ta'ala menciptakan perbedaan-perbedaan seperti malam dan siang. Menyalahkan salah satu perbedaan berarti sama saja dengan tidak mau menerima segala ketentuan-Nya, dan kontra terhadap apa yang telah diciptakan-Nya termasuk perbedaan-perbedaan.
Pada akhirnya aku pasrahkan saja semua ini kepada Allah Ta'ala. Sang Raja Pemilik segala Urusan yang Maha Absolut kekuasaan-Nya, Maha Berkehendak atas seluruh ciptaan-Nya di seluruh jagat semesta ini hingga alam akhirat. Bahwa semua ini adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Begitu banyak pelajaran yang dapat diambil jika kita terus menerus melihat cermin kusam pada diri ini. Sesungguhnya, ketika cermin kusam bertemu dengan cermin yang bening dan bersih maka yang terlihat adalah cermin yang kusam. Hingga diri ini sadar, bahwa cermin kusam membutuhkan air yang jernih dan bening untuk membersihkan kekusamannya, selanjutnya ia dapat saling bercermin dengan cermin yang bening dan bersih. Dengan begitu sudah tidak dapat diketahui lagi, manakah cermin yang bening dan bersih itu, yang terlihat hanyalah kebeningan dan kejernihan saja.
Aku selaku penulis meminta dengan hormat permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca budiman atas apa yang tertuang dalam kisah-kisah ini. Apabila terdapat kalimat atau kata-kata yang menyinggung, sudilah kiranya agar dapat memohonkan doa ampunan kepada Allah Ta'ala untuk diri yang bodoh ini. Karena ketidak mampuan ku untuk memohon ampunan kepada Nya, disebabkan begitu hina dan kotornya diri ini dihadapan-Nya.
Semoga Allah swt berkenan memberikan kita berkah yang berlimpah atas pengertian dan pemahaman terhadap ayat-ayat besar-Nya yang tersebar diseluruh hamparan ciptaan-Nya. Amin.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Adam Sutawijaya
Ciputat, April 2009.